Nganjuk, tivi7news.com– Belakangan ini, istilah “Generasi Strawberry” menjadi topik yang hangat diperbincangkan di Indonesia. Meskipun istilah ini baru belakangan populer, sebenarnya sudah ada sejak awal 2000-an dan pertama kali digunakan di Taiwan. Namun, tahukah Anda bahwa istilah ini sesungguhnya berasal dari sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1978 oleh seorang sosiolog asal Australia bernama Paul Hirst? Dalam bukunya yang berjudul The Graying of the Greens: Demographic Change and Political Realignment in Australia, Hirst mencatat adanya perubahan demografis di Australia yang memunculkan tiga kelompok generasi: Baby Boomers, Generasi X, dan Generasi Strawberry.
Meski awalnya terhubung dengan dinamika sosial di Australia, konsep “Generasi Strawberry” kini semakin sering dibicarakan dalam konteks perubahan sosial di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan generasi ini, dan apa yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan fenomena tersebut?
Apa Itu Generasi Strawberry?
“Generasi Strawberry” adalah istilah yang merujuk pada kelompok muda yang, meskipun tampak hebat di luar, ternyata sangat rapuh dan mudah “hancur” saat menghadapi tekanan. Secara spesifik, istilah ini sering dikaitkan dengan Generasi Z—mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Generasi ini dikenal dengan keterampilan digital yang tinggi, ide-ide kreatif, serta kemampuan beradaptasi yang cepat dengan perubahan zaman.
Namun, di balik berbagai kelebihan tersebut, ada beberapa sifat yang dianggap menjadi tantangan bagi Generasi Z. Mereka sering digambarkan sebagai generasi yang cenderung boros, dengan gaya hidup konsumtif yang tinggi. Selain itu, ego yang besar dan kesulitan dalam menerima kritik juga menjadi karakteristik yang sering disorot. Istilah “strawberry” sendiri merujuk pada kenyataan bahwa generasi ini tampak “sempurna” dari luar, namun rentan terhadap tekanan dan kesulitan hidup yang nyata.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana Generasi Z lebih mudah merasa stres atau tertekan ketika menghadapi tantangan hidup yang sebenarnya. Mereka cenderung lebih sensitif terhadap masalah dan sering kali kesulitan dalam mengelola tekanan tersebut.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Generasi Strawberry
Beberapa faktor utama yang berperan dalam pembentukan “Generasi Strawberry” di antaranya adalah pola asuh orang tua, pengaruh media sosial, dan pemahaman yang kurang matang mengenai kesehatan mental.
1. Pola Asuh Orang Tua: Strawberry Parenting
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi munculnya generasi ini adalah pola asuh orang tua yang dikenal dengan istilah strawberry parenting. Gaya pengasuhan ini seringkali ditandai dengan kelembutan dan perhatian berlebihan, yang pada akhirnya membuat anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang sangat melindungi mereka dari segala kesulitan. Dalam pola ini, anak-anak tidak didorong untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, atau belajar mengatasi masalah secara mandiri.
Akibatnya, ketika anak-anak tersebut memasuki dunia nyata dan menghadapi tantangan hidup yang lebih besar, mereka menjadi lebih rentan terhadap stres dan kesulitan. Mereka tidak terbiasa mengelola masalah secara konstruktif dan lebih cenderung merasa frustasi atau bahkan terpuruk saat menghadapi kegagalan.
Media sosial menjadi salah satu faktor besar yang memengaruhi persepsi generasi muda terhadap dunia di sekitar mereka. Konten yang disebarkan di platform seperti Instagram, TikTok, dan lainnya sering kali menunjukkan kehidupan yang tampak sempurna dan penuh kemudahan. Gaya hidup hedonis dan konsumtif yang dipamerkan di media sosial menciptakan ekspektasi yang tinggi tentang kehidupan, yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.
Banyak anak muda yang merasa tertekan untuk mengikuti tren atau standar yang ditampilkan di media sosial, yang pada akhirnya dapat membuat mereka kecewa atau bahkan stres saat mereka menghadapi kenyataan yang jauh berbeda. Ini membuat mereka kesulitan untuk beradaptasi dengan dunia nyata, terutama dalam hal pekerjaan dan hubungan interpersonal.
3. Kurangnya Pemahaman tentang Kesehatan Mental
Sementara itu, meskipun Generasi Z lebih peka terhadap isu kesehatan mental, pemahaman mereka tentang hal ini sering kali masih sangat terbatas. Banyak dari mereka yang hanya mengakses informasi tentang kesehatan mental melalui media sosial atau konten-konten pendek yang tidak selalu akurat.
Generasi ini sering kali mengaitkan masalah yang mereka hadapi, seperti kegagalan atau kesulitan emosional, dengan isu kesehatan mental. Namun, mereka cenderung tidak cukup menerima atau mengelola kritik konstruktif, yang seharusnya menjadi bagian dari proses pembelajaran dalam kehidupan. Pemahaman yang dangkal mengenai cara-cara efektif untuk mengatasi stres dan kecemasan sering kali membuat mereka lebih mudah mengalami kecemasan berlebihan atau bahkan melakukan “self-diagnosis” yang tidak berdasar.
Mengatasi Tantangan Generasi Strawberry
Untuk menghadapi tantangan yang dihadapi oleh Generasi Strawberry, ada beberapa pendekatan yang dapat diambil. Salah satunya adalah dengan mengembangkan emotional resilience atau ketahanan emosional, agar mereka mampu menghadapi tekanan dan kegagalan dengan lebih baik. Selain itu, pendidikan karakter yang menekankan pentingnya ketekunan, disiplin, dan kemampuan untuk menerima kekurangan atau kritik juga sangat penting.
Penting juga untuk melibatkan generasi muda dalam pembelajaran keterampilan hidup yang lebih konkret, seperti kemampuan untuk menghadapi kesulitan, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan perubahan. Proses ini akan membantu mereka untuk lebih siap menghadapi tantangan yang datang tanpa merasa mudah terguncang atau tertekan.
Istilah “Generasi Strawberry” mungkin terkesan negatif, namun sebenarnya ini merupakan refleksi dari tantangan besar yang dihadapi oleh generasi muda zaman sekarang. Pola asuh yang melindungi secara berlebihan, pengaruh media sosial yang menciptakan standar hidup yang tidak realistis, serta pemahaman yang kurang tentang kesehatan mental, semuanya berkontribusi pada pembentukan karakter yang cenderung rentan terhadap tekanan.
Namun, dengan pendekatan yang tepat—baik itu melalui pengembangan ketahanan mental, pendidikan karakter, maupun pemahaman yang lebih dalam tentang kesehatan mental—Generasi Z dapat belajar untuk mengatasi tantangan ini dan tumbuh menjadi individu yang lebih tangguh, kreatif, dan siap menghadapi kehidupan nyata.