Ritual Penolak Bala, Tradisi Rebu Wekasan di Berbagai Daerah Jawa Timur

Ritual Penolak Bala, Tradisi Rebu Wekasan di Berbagai Daerah Jawa Timur. Foto: Tivi7news/ilustrasi.

Nganjuk, tivi7news.com- Tradisi Rebu Wekasan merupakan salah satu budaya lokal yang masih bertahan hingga kini di beberapa daerah di Jawa Timur. Tradisi ini berakar pada keyakinan masyarakat akan hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Hijriah yang dianggap sebagai hari penuh malapetaka atau naas. Karena itu, masyarakat di Jawa Timur, khususnya yang masih memegang tradisi ini, melakukan berbagai ritual dan prosesi untuk menolak bala dan memohon keselamatan.

1. Makna dan Latar Belakang Tradisi

Bacaan Lainnya

Secara umum, Rebu Wekasan atau Rabu Wekasan adalah ritual yang dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Bulan Safar dalam keyakinan Islam dikenal sebagai bulan yang penuh dengan ujian dan cobaan. Masyarakat percaya bahwa pada bulan ini, Allah menurunkan banyak bala atau malapetaka, terutama pada hari Rabu terakhir. Untuk menghindari malapetaka tersebut, mereka melakukan berbagai bentuk ritual sesuai dengan adat dan tradisi masing-masing daerah.

Di Jawa Timur, tradisi ini menjadi bentuk ungkapan rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan agar terhindar dari segala macam bahaya. Meskipun tradisi ini sarat akan nilai-nilai keagamaan, dalam praktiknya terdapat pengaruh kuat dari budaya lokal dan tradisi nenek moyang yang bercampur dengan ajaran Islam.

2. Bentuk Pelaksanaan Tradisi di Berbagai Daerah

Di Jawa Timur, Rebu Wekasan dirayakan dengan berbagai bentuk prosesi, tergantung pada daerah dan budaya lokal masing-masing. Beberapa daerah memiliki ciri khas tersendiri dalam pelaksanaan tradisi ini.

a. Kota Gresik

Di Gresik, tradisi Rebu Wekasan masih dijaga oleh masyarakat setempat, terutama di wilayah pedesaan. Salah satu bentuk ritual yang umum dilakukan adalah “air berkah.” Pada ritual ini, masyarakat berkumpul di masjid atau tempat yang dianggap suci untuk mengambil air yang sudah diberi doa oleh tokoh agama. Air ini kemudian dipercikkan di rumah atau diminum sebagai penolak bala. Selain itu, masyarakat Gresik juga melakukan sedekah atau kenduri sebagai bentuk rasa syukur.

b. Kabupaten Lamongan

Di Lamongan, tradisi Rebu Wekasan lebih banyak diisi dengan kegiatan keagamaan seperti pengajian dan doa bersama. Biasanya, masyarakat berkumpul di masjid-masjid untuk melantunkan doa dan dzikir. Selain itu, masyarakat juga membuat nasi tumpeng dan berbagai makanan tradisional untuk dibagikan kepada tetangga atau orang yang membutuhkan. Tradisi ini diyakini dapat membawa keberkahan dan menghindarkan diri dari mara bahaya.

c. Kabupaten Jombang

Di Jombang, Rebu Wekasan dikenal dengan istilah “Rabu Pungkasan.” Masyarakat di daerah ini melakukan tradisi khusus yang disebut “ruwat.” Ruwatan adalah sebuah prosesi ritual untuk membersihkan diri dari segala macam energi negatif. Biasanya, ritual ini diiringi dengan doa-doa yang dipimpin oleh tokoh agama atau sesepuh desa. Selain itu, di beberapa tempat, ruwatan dilakukan dengan cara mandi di sumber air suci yang diyakini dapat membersihkan diri dari malapetaka.

d. Kota Probolinggo

Masyarakat Probolinggo memiliki cara unik dalam merayakan Rebu Wekasan. Mereka menggelar “arak-arakan” dengan membawa berbagai sesaji dan hasil bumi sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Prosesi ini biasanya diikuti dengan doa bersama yang diadakan di tempat-tempat tertentu seperti masjid atau alun-alun desa. Selain itu, beberapa desa di Probolinggo juga memiliki tradisi mandi di laut atau sungai sebagai simbol pembersihan diri dari bala.

3. Nilai-Nilai dan Filosofi

Tradisi Rebu Wekasan mengandung nilai-nilai filosofi yang mendalam. Pertama, tradisi ini merupakan manifestasi dari keyakinan masyarakat terhadap kekuatan takdir dan kehendak Tuhan. Dengan melaksanakan berbagai ritual penolak bala, mereka berharap dapat menghindari musibah yang diyakini akan turun pada hari tersebut.

Kedua, Rebu Wekasan juga mencerminkan pentingnya menjaga keseimbangan antara usaha spiritual dan usaha nyata dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat tidak hanya berdoa, tetapi juga melakukan tindakan nyata seperti mandi di sumber air suci atau melakukan sedekah kepada sesama.

Ketiga, tradisi ini juga memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas antarwarga. Dengan berkumpul dan melaksanakan ritual bersama, masyarakat memperkuat ikatan sosial mereka. Mereka saling membantu, berbagi, dan mengingatkan satu sama lain untuk selalu berbuat kebaikan.

4. Tantangan dan Pelestarian

Di tengah arus modernisasi dan perubahan zaman, tradisi Rebu Wekasan menghadapi tantangan yang cukup besar. Generasi muda cenderung kurang tertarik untuk melestarikan tradisi ini, dan banyak yang menganggapnya sebagai hal yang tidak relevan dengan kehidupan modern. Namun, di beberapa daerah, tradisi ini masih dipertahankan dan dilestarikan dengan berbagai cara, termasuk melalui kegiatan-kegiatan keagamaan dan budaya yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Pelestarian tradisi ini membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak, mulai dari tokoh agama, pemerintah, hingga komunitas budaya. Selain itu, penting pula untuk memberikan edukasi kepada generasi muda mengenai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi ini sehingga mereka dapat memahami dan menghargai warisan budaya nenek moyang.

Tradisi Rebu Wekasan adalah salah satu warisan budaya yang masih bertahan di beberapa daerah di Jawa Timur. Tradisi ini merupakan bentuk manifestasi dari keyakinan masyarakat terhadap hari naas di bulan Safar serta upaya untuk menolak bala dan memohon keselamatan. Meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan, tradisi ini tetap memiliki makna penting bagi masyarakat yang melaksanakannya. Pelestarian dan pengenalan kembali tradisi ini kepada generasi muda menjadi salah satu langkah penting untuk menjaga kekayaan budaya lokal di Jawa Timur.

Pos terkait